KIRAB GREBEG SUDIRO: RITUAL PERSATUAN ANTAR ETNIS
Kelurahan Sudiroprajan, Surakarta, Jawa Tengah menyimpan tradisi tahunan terbilang khas dan unik. Tradisi ini biasa digelar untuk menyongsong datangnya tahun baru China. Tradisi yang bernama Gerebeg Kirab Sudiro ini menggabungkan adat etnis Jawa dan adat etnis China. Malah belakangan juga diikuti oleh semua etnis yang ada di kampung tersebut seperti Arab, Ambon, Papua, Sunda, dll…
Ritual ini dilaksanakan di beberapa titik sekitaran kampung Sudiroprajan. Di titik-titik sakral tersebut terdapat prasasti sejarah yang berwujud Bok Teko dan sebuah Klenteng Budha tua bernama Tien Kok Sie. Ritual tahunan tersebut digelar selama tiga hari berturut-turut mulai tanggal 13 hingga 15 Februari 2014 dengan ribuan orang sebagai peserta utamanya. Secara umum tema acara ritual adalah Guyup Rukun Agawe Sentosa (Kerukunan Membawa Kedamaian Kesejahteraan).
Ritual diawali dengan upacara sedekah bumi pada hari pertama. Di jaman dulu dimana mayoritas masyarakat adalah pedagang dan petani, sudah menjadi hal yang umum untuk mengadakan persembahan berupa sedekah bumi. Yaitu mempersembahkan hasil bumi atau pertanian kepada penguasa alam. Makna dan simbol dari upacara ini adalah mengucapkan syukur pada Tuhan serta memohon limpahan rejeki untuk masa-masa setelahnya.
“Di masa sekarang meskipun profesi warga sangat beragam, ritual sedekah bumi itu masih relevan sebagai wujud syukur warga akan semua limpahan rejeki yang diberikan Tuhan,” tutur Yunanto Nugroho (37), salah satu Nan panitia dari Gerebeg Sudiro.
Upacara sedekah bumi ini mengambil lokasi di titik kampung di mana prasasti Bok Teko berada. Di jaman dulu, konon Raja Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu Paku Buwono X (Versi lain menyebut Paku Buwono VI) sedang melintasi kampung tersebut untuk sebuah misi acara. Kebetulan dia harus melewati sebuah jembatan kecil sebagai gerbang masuk kampung tersebut.
Di tempat itulah sang raja memberikan sebuah Teko sebagai hadiah untuk warga kampung setempat. Saat itu raja berpesan agar teko dan tutupnya dljaga baik-baik. Hadiah Teko dimaksudkan sebagai simbol agar masyarakat bisa bersatu jika ingin tentram, damai, dan makmur. Wadah Teko itu sendiri diibaratkan sebagai simbol masyarakat atau rakyat. Sedangkan tutup teko sebagai simbol penguasa. Atau raja. “Jika ingin hidup tentram dan sejahtera, maka masyarakat harus bersatu padu, jika tidak yang terjadi hanyalah kekacauan,” begitu ujar sang raja kala itu. Namun sayang sekali, tiba-tiba saja tutup Teko tersebut terjatuh dan hanyut di sungai bawah jembatan. Beberapa punggawa kerajaan dan warga kampung mencari dengan segenap kemampuan. Namun hingga berhari-hari tutup Teko tersebut tak kunjung ditemukan juga. Akhirnya warga hanya menandai lokasi itu dengan membangun sebuah Bok Tety (tempat duduk memanjang) dengan Nama Bok Tek. Dengan perjalanan waktu, lokasi Bok Tety menjadi simbol persatuan atau Pembauran antara warga pribumi Jawa) dengan Warga keturunan Tionghoa,” jelas pria lulusan Sarjana Teknik ini menambahkan.
Hingga sampai sekarang, acara ritual Gerebeg Sudiro dilakukan secara gotong royong antara warga pribumi dan keturunan, tak heran jika ritual juga memadukan sisi budaya antara keduanya, yaitu budaya jawa dan Tionghoa. Perpaduan budaya itu makin terlihat kental saat puncak acara gerebeg, yaitu Kirab Budaya yang mengusung beragam kesenian melewati jalan-jalan protokol kota dan kampung.
Ada kesenian khas Tionghoa seperti barongsay, liong, wushu, gunungan pagoda, dan lain-lain. Sementara kesenian khas Jawa juga dipertontonkan seperti tarian Reog, tarian Jawa, Wayang, hingga gunungan makanan khas Jawa. Tak hanya kesenian gerak saja yang ditampilkan. Beragam makanan kuliner dua budaya juga ditampilkan.
“Pokoknya bisa dilihat dan bahkan dinikmati semua kuliner khas kampung Sudiroprajan yang terdiri dari budaya Jawa dan Tionghoa selama acara ini berlangsung,” tambahnya pada penulis. Makanan kuliner mulai bakso, bakwan, bakpao, bakpia, apem, klepon, carabikan, lemper, ketan, serabi, dan lain-lain semua digelar dan diarak dalam kirab tersebut. Bahkan untuk pengunjung yang ingin mencicipi semua hidangan kuliner itu disediakan lokasi khusus di pinggiran kampung sepanjang jalan. Dan hebatnya semuanya gratis tanpa perlu membayar.
“Selain untuk melestarikan budaya turun temurun, gerebeg dan kirab budaya ini juga sebagai wujud partisipasi warga dalam agenda promosi wisata di kota Solo dan sekitarnya,” tandasnya.
Yang paling mencolok dalam kirab tersebut adalah adanya beberapa gunungan yang berisi makanan dan buah-buahan. Gunungan berisi buah-buahan lengkap seperti jeruk, apel, pisang, jambu, salak, dan lain-lain. Sedangkan gunungan makanan yang paling menyedot perhatian adalah gunungan berupa ribuan kue keranjang yang disusun sedemikian rupa membentuk gunungan kerucut.
Kue keranjang adalah makanan khas da” adi etnis Tionghoa dalam menyambut berb Haa atau tahun baru China. Makanan silinder pendek itu berwarna coklat. Dan terbuat dari campuran terigu dan tepung ketan serta pemanis gula Jawa. Konon, jenis makanan itu pula yang dulu menjadi makanan wajib dari serdadu China yang mengembara di bawah pimpinan Laksamana Jendaral Kubi Lai Kan. Versi lain makanan itu adalah makanan alterantif saat rakyat Cina dilanda musim dingin, Nyatanya memang makanan itu paling awet dibanding makanan lain. Bahkan bisa bertahan hingga berbulan-bulan dengan rasa dan aroma yang tidak berubah.
Kirab yang diadakan pada hari terakhir itu diawali dengan sambutan dari walikota setempat. Selanjutnya walikota melepas rombongan kirab pertama. Rombongan pertama dibuka dengan barisan pembawa bendera merah putih sebagai lambang persatuan bangsa. Selanjutnya berturutturut di belakangnya menyusul rombongan kesenian gerak dan beragam adat dan budaya daerah.
Yang menarik sebelum memasuki barisan, semua anggota atau peserta kirab wajib singgah di bangunan Vihara atau kuil tua di dekat kampung. Mereka terlebih dahulu harus meminta doa restu di kompleks kuil atau Vihara Budha itu. Masing-masing group kesenian tersebut satu persatu masuk ke kuil dan diberi pemberkatan dan mantra khusus oleh pengurus kuil.
“Hal tersebut sekedar menghormati nilainilai spiritual dari semua kekuatan Spiritual yang ada di wilayah kami,” sambungnya.
Selain itu dari segi pariwisata, juga ingin menonjolkan bahwa di kota Solo sejatinya penuh dengan keberagaman budaya sejak dulu, termasuk budaya spiritual kepercayaan atau agama. Jadi dengan prosesi itu, diharapkan semakin memperkokoh rasa persatuan dan semangat toleransi antara umat kepercayaan yang berada di Solo dan di mana saja.
Siapapun peserta yang duluan tiba di lokasi, dialah yang pertama mendapat pemberkatan. Restu dari Kuil vihara ini dinilai penting agar selama acara berlangsung tidak terjadi hal-hal yang diinginkan dan berjalan lancar. Selain itu pemberkatan juga dianggap
sebagai simbol dari persatuan umat atau warga yang terlibat. Semua peserta yang datang dari beragam suku dan group kesenian diberkati dengan doa serta mantra yang sama.
Wujud dari doa dan mantra itu adalah selembar kertas yang sudah didoakan dan bertuliskan rajah khusus. Kertas itu selanjutnya ditempel di badan peserta kirab atau sebagian juga ditempel di peralatan yang dibawa peserta. Meskipun kertas-kerta itu nantinya akan lepas atau jatuh darl badar si peserta, namun khasiat dari doa dan mantranya tetap melekat ke masing-masing tubuh atau peralatan yang dibawa.
Saat peserta datang masuk kuil, akan disambut oleh si pemberkat atau si pemberi mantra di depan pintu masuk. Selanjutnya, Si pemberi mantra akan menyalakan api doa. Setelah itu api doa akan dihadapkan ke atas langit, tujuannya untuk meminta kekuatan dan perlindungan dari alam semesta. Setelah itu, barulah peserta atau perwakilan group dari peserta kirab akan duduk di hadapan pemberkat.
Berikutnya mereka didoakan dan dalam sekejap mantra-mantra berupa kertas berhias rajah telah menempel di badan atau peralatan masing-masing. Kertas berhias huruf Mandarin kuno itu masing-masing berbeda antara peserta satu dengan lainnya.
Karena masing-masing gaib dari peserta atau jenis kesenian yang dibawanya memang berbeda. Sehingga kekuatan alam yang menaunginya pun juga dianggap tidak sama. Jadi mantra yang dilekatkan juga berbeda, meskipun tujuannya sama, yaitu untuk kelancaran, kekuatan, dan keselamatan selama pertunjukan. Bahkan sebuah Group kesenian Reog sampai-sampai harus dilekatkan beberapa lembar kertas mantra berukuran besar di badan anggotanya.
“Khusus tarian Reog dan Barongsay memang butuh kekuatan pelindung yang ekstra besar. Ini karena sifat kesenian itu yang butuh energi besar dan juga rawan rohroh jahat pengganggu yang juga berkekuatan besar,” tutur salah seorang panitia dari pihak kuil Vihara.
Tarian Reog atau Barongsay diyakini memang gampang disusupi oleh roh-toh jahat atau kekuatan pengganggu. Baik roh jahat dari alam maupun oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan atraksi seni garang asal Ponorogo atau dataran China itu. Konon, kedua atraksi itu menurut sejarah di masa lampaunya memang bersinggungan dengan politik kekuasaan di wilayah asalnya masing-masing. Jadi sampai sekarang mungkin saja ada sementara pihak yang tidak berkenan dengan atraksi seni tersebut.
Jika masing-masing peserta sudah dibekali doa dan mantra dari kuil, maka mereka sudah siap untuk melakukan atraksi selama kirab. Di masa lampau, rute kirab hanya menyusuri jalanan kampung setempat Namun sekarang diperluas dengan berjalan menyusuri rute Pasar Gede, beberapa jalan protokol kota, hingga kembali lagi ke kampung Sudiroprajan. Di akhir acara, warga berebut beberapa gunungan kue keranjang dan buah-buahan.
Rebutan gunungan itupun juga diyakini membawa keberkahan atau keberuntungan bagi siapa saja yang bisa mendapatkannya, meskipun hanya sepotong kue keranjang, atau sepotong buah-buahan. Di akhir kirab, beberapa gunungan itu disebar di beberapa titik ruas jalan. Sehingga pengunjung yang berebut bisa terpecah lokasinya dan tidak berjubel berdesakan.
Meskipun dernikian, antusiasme warga tetap tak terbendung. Sehingga saling berdesakan dan berjubel tak bisa dihindari. Bagi yang beruntung mendapatkannya bisa langgung dimakan di tempat. Namun banyak pula yang membawa pulang untuk disimpan. Makanan tersebut nantinya bisa disimpan atau digantung di atas pintu rumah bagian luar atau dalam sebagai lambang perlindungan dan kesejahteraan di tahun baru nanti. Sebagai penutup dari semua ritual, warga menyulut sebuah lampu Lampion yang dikenal dengan nama Lampion Bok Teko. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: dukun.asia
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)